MELAMPAUI BATAS KEWENANGAN: ANALISIS HUKUM ADMINISTRASI ATAS SE BPP SMA/SMK NTB


Oleh: Dr. Firzhal Arzhi Jiwantara, S.H., M.H., Praktisi Dan Akademisi Universitas Muhammadiyah Mataram Majelis Hukum Dan HAM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah NTB 2022-2027 Bendahara DPC PERADI Mataram NTB

Belum lama ini publik Nusa Tenggara Barat dihebohkan dengan terbitnya Surat Edaran (SE) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB tertanggal 26 Juni 2025 mengenai pungutan Biaya Penyelenggaraan Pendidikan (BPP) di jenjang SMA/SMK. Surat edaran tersebut menegaskan bahwa penggalangan dana BPP dialihkan ke komite sekolah mulai 1 Juli 2025. Kebijakan ini segera menuai kritik keras dari berbagai pihak, termasuk Ketua MKKS SMK se-NTB, yang menilai edaran tersebut bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi dan karenanya layak untuk dicabut.

Dari perspektif hukum administrasi negara, keberadaan SE tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar tentang legalitas dan kewenangan pejabat administratif dalam mengeluarkan kebijakan publik. Surat edaran pada hakikatnya adalah instrumen administratif bersifat internal yang tidak memiliki kekuatan mengikat keluar, apalagi sampai menciptakan kewajiban berupa pungutan terhadap masyarakat. Dengan kata lain, SE tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menarik biaya dari orang tua atau wali siswa.

Lebih lanjut, SE ini bertentangan dengan Peraturan Gubernur NTB Nomor 44 Tahun 2018, yang secara tegas membatasi pungutan BPP hanya bagi orang tua yang mampu secara ekonomi. Bahkan, Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah melarang komite melakukan pungutan. Artinya, isi SE bukan saja melampaui batas kewenangan, melainkan juga berlawanan dengan regulasi yang hierarkinya lebih tinggi. Dalam asas hukum, ini jelas melanggar prinsip lex superior derogat legi inferiori.

Dari sisi kewenangan, tindakan Plt Kepala Dinas Dikbud NTB juga tidak dapat dibenarkan. Dalam hukum administrasi, setiap kewenangan lahir dari atribusi, delegasi, atau mandat yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Kebijakan pungutan melalui SE bukanlah bentuk diskresi yang sah, melainkan tergolong detournement de pouvoir atau penyalahgunaan wewenang, karena menempatkan kewajiban keuangan baru bagi masyarakat tanpa dasar hukum yang jelas. Selain masalah legalitas, kebijakan ini juga berpotensi melahirkan maladministrasi. Ombudsman, misalnya, kerap menyoroti pungutan liar di sektor pendidikan yang merugikan siswa dan wali murid. Jika dibiarkan, SE BPP SMA/SMK NTB berpotensi menimbulkan sengketa hukum, baik berupa laporan ke Ombudsman, gugatan ke PTUN, maupun sekadar konflik sosial antara sekolah dan orang tua. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar justru berubah menjadi beban administratif.

Namun demikian, kritik terhadap SE ini tidak berarti menutup mata terhadap keterbatasan anggaran sekolah. Fakta bahwa dana BOS reguler belum mencukupi kebutuhan operasional memang benar adanya. Tetapi solusi yang tepat bukanlah memberlakukan pungutan melalui SE yang cacat hukum, melainkan memperjuangkan penambahan alokasi BOS Daerah (BOSDa) serta memperkuat mekanisme penganggaran pendidikan di daerah. Dengan cara itu, kebutuhan sekolah tetap terpenuhi tanpa harus melanggar aturan.

Pada akhirnya, kasus SE BPP SMA/SMK NTB memberi pelajaran penting tentang batas kewenangan dalam administrasi negara. Setiap kebijakan harus lahir dari dasar hukum yang jelas, sesuai asas legalitas, dan tidak boleh membebani warga negara dengan kewajiban yang tidak sah. Oleh karena itu, pencabutan SE menjadi langkah yang niscaya. Pendidikan adalah hak konstitusional yang wajib dijamin negara, bukan ruang untuk eksperimen kebijakan yang melampaui batas kewenangan.

Pada titik ini, publik NTB seharusnya tidak hanya memandang persoalan ini sebagai isu teknis pungutan sekolah, tetapi sebagai problem tata kelola pemerintahan yang lebih luas. Surat Edaran BPP SMA/SMK adalah contoh bagaimana kebijakan publik sering kali diambil secara instan tanpa uji kepatutan hukum dan administrasi. Padahal, dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan tidak boleh dilepaskan dari asas rechtmatigheid (keabsahan) dan doelmatigheid (kemanfaatan). Jika aspek legalitas diabaikan, maka kebijakan sekecil apa pun dapat mencederai prinsip good governance.

Karena itu, pencabutan SE BPP SMA/SMK NTB harus menjadi momentum evaluasi menyeluruh terhadap praktik regulasi di sektor pendidikan. Pemerintah daerah harus lebih hati-hati dalam menggunakan instrumen administratif seperti surat edaran, agar tidak menjelma menjadi “peraturan bayangan” yang justru menimbulkan keresahan sosial. Di sisi lain, DPRD NTB juga perlu mengambil peran pengawasan yang lebih kuat agar hak-hak warga, terutama peserta didik, terlindungi. Dengan begitu, dunia pendidikan NTB akan lebih terarah pada pencapaian tujuan konstitusional mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan terbebani oleh kebijakan yang melampaui batas kewenangan.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.