Laut Biru yang Kian Pudar: Krisis Ekosistem di Gili Trawangan



Oleh: Aprilia Ariesta, Kabupaten Sumbawa, NTB.


Gili Trawangan, Lombok Utara, selalu digambarkan sebagai surga tropis dengan laut sebening kaca dan kehidupan bawah laut yang memesona. Namun di balik keindahan itu, ada luka ekologis yang perlahan membesar: terumbu karang yang mati, ekosistem pesisir yang menipis, dan hutan di kawasan penyangga yang kian gundul.


Dalam beberapa tahun terakhir, ekspansi wisata dan pembangunan resort di kawasan Gili makin pesat. Sayangnya, pembangunan tersebut sering kali tak diimbangi dengan tata kelola lingkungan yang baik. Hutan mangrove yang berfungsi mellindungi garis pantai dari abrasi justru ditebang dan digantikan dengan bangunan permanen. Dampaknya, beberapa titik pesisir mulai terkikis, dan kualitas air menurun akibat limpasan limbah domestik.


Menurut laporan WALHI NTB (2024), lebih dari 60% kawasan pesisir di tiga Gili telah mengalami degradasi sedang hingga berat. Sementara itu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) NTB juga mencatat adanya peningkatan kerusakan terumbu karang akibat aktivitas snorkeling yang tak terkendali dan pembuangan sampah ke laut. 


Ketika karang rusak, ikan-ikan kehilangan tempat tinggalnya, dan rantai kehidupan laut ikut terganggu. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, di bagian daratan Lombok Utara—yang menjadi penopang ekosistem Gili—penebangan liar dan konversi lahan untuk pembangunan wisata semakin meningkat.


Forest Watch Indonesia (2025) mencatat, dalam lima tahun terakhir NTB kehilangan lebih dari 11.000 hektare tutupan hutan, sebagian besar di Lombok Utara dan Sumbawa. Padahal kawasan hutan ini sangat penting sebagai penyedia air tanah yang menjaga keseimbangan ekosistem.


Kerusakan ini bukan sekedar isu ekologi, ini adalah potret kegagalan kita dalam menyeimbangkan ekonomi dan lingkungan. Ketika pariwisata dijalankan tanpa batas daya dukung, alam yang menjadi daya tarik utamanya justru perlahan musnah. Sudah saatnya pemerintah daerah, wisatawan, dan masyarakat setempat membahas secara serius masa depan Gili.


Ekowisata sejati bukan hanya tentang promosi “wisata hijau”, tapi juga menjaga agar laut tetap hidup dan hutan tetap kokoh. Jika kita ingin Gili tetap menjadi syurga, maka kita harus berani berhenti memperlakukannya seperti ladang uang semata. Sebab tanpa alam yang sehat, keindahan hanya akan ada untuk sesaat.(**)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.