Hardiknas Itu Bukanlah Upacara Bendera
![]() |
Dr. Juwaidin M.Pd |
Setiap tanggal 2 Mei adalah
diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ironisnya, dunia pendidikan
bukannya semakin berkualitas, justru yang terjadi "kedaruratan
nasional." darurat moral, hukum, narkoba, tramadol, dan lain sebagainya
yang telah merusaki kualitas dan
martabat pendidikan,". Setidaknya hari pendidikan Nasional menjadi sebuah
refleksi bahwa kita saat ini terhimpit dalam pelik strata kasta manusia. Masih
terjebak lingkup hitam membuai mata. Anak muda bingung kemana mereka harus
membawa dirinya karena mereka sudah terjebak dalam sistem industri yang semakin
mengaga, pola pikirnya hanya lahir, sekolah, bekerja, mati, dan sistem hiduppun berpatok pada materi.
Kita ingin pendidikan
benar-benar berperan sebagai pelita bagi setiap anak Indonesia yang akan
membuatnya bisa melihat peluang, mendorong kemajuan, menumbuhkan karakter, dan
memberikan kejernihan dalam menata dan menyiapkan masa depannya. Jika pada
tanggal 1 Mei (May Day) banyak "BURUH" yang memperingati dengan
melakukan aksi turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi, maka apa yang kita
lakukan sebagai insan pendidikan pada hari ini? Apakah peringatan Hardiknas
hanya berupa perayaan yang bersifat seremonial dan hanya dihiasi oleh upacara
semata?
Dari tahun ke tahun kegiatan
rutinitas dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) selalu
berulang hanya begitu-begitu saja dengan orasi normatif tanpa memberikan solusi
yang nyata dan ide-ide bagi pencerahan kemajuan pendidikan. Padahal misalnya
kegiatan yang lebih produktif bisa
dilakukan oleh Pemerintah Daerah Bima yakni :
1) PEMDA dapat memanfaatkan
hardiknas itu sebagai momentum untuk mengukur capaian target tahunan pendidikan
dengan cara meminta laporan progress dan hambatan yang dihadapi pada
masing_masing tupoksi dari para pihak yang diberi tugas mengelola pendidikan
seperti kepala sekolah, pengawas, kepala UPTD DIKBUDPORA, KADIS DIKBUDPORA,
para pejabat eselon dinas Dikbudpora
2) Kepala Daerah dapat mengumumkan hasil yang telah dicapai yang
belum, dan akan dicapai kedepan berdasarkan standar yang telah ditetapkan
sebelumnya.
3) Kepala Daerah seharusnya
bisa menjelaskan tentang peluang, tantangan, hambatan, dan keunggulan daerah
dalam mengelola pendidikan , baik tentang SDM pendidikan, alat pendidikan,
sarana prasarana pendidikan, lingkungan sosial pendidikan, potensi siswa,
dukungan keuangan dari APBD/APBN, dan kebijakan-kebijakan strategis pendidikan
4) Kepala Daerah dapat
mengumumkan para pihak pengelola pendidikan yang berprestasi untuk diberikan
reward sebagai penghargaan sekaligus motivasi kerja bagi yang lain
5) Kepala Daerah harus
berani reallise daftar nama/satuan tugas yang tidak memenuhi target dan harus
tegas memberi "punishment" kepada mereka sebagai motivasi kerja
sehingga para pihak tersebut dapat meningkatkan kinerja mereka.
Beberapa hal yang diurai di
atas merupakan masukan bagi pemerintah daerah dalam hal memanfaatkan Hardiknas
sebagai sesuatu yang bermakna bagi perbaikan pendidikan kita agar 2 Mei tidak
dilewati dengan kegiatan mengganti tema upacara saja, penampilan perlente
seperti borjuasi imut-imut dari para pembina upacara yang berlaga bak orator
ulung di atas podium yang tidak lebih dari sekadar menggugurkan kewajiban dalam
melewati hari sakral tersebut.
Hardiknas yang sejatinya
adalah momentum untuk introspeksi diri tentang sejauh mana kita (seluruh elemen
masyarakat) telah berkiprah dalam mengemban amanat,tugas dan tanggung jawab
dalam melayani dan memenuhi hak dasar para anak bangsa dalam menerima
pendidikan. Karena ‘’Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Hal
ini bermakna bahwa anak-anak yang tidak terdidik di Negeri ini adalah “dosa”
setiap orang terdidik yang hidup di Republik ini’’.
Sejalan dengan ini, Ki Hajar
Dewantara, seorang tokoh pendidikan Indonesia yang pemikirannya menjadi benih
bertumbuhnya pendidikan Indonesia. Beliau mengumandangkan pemikirannya tentang
pendidikan Indonesia, yaitu Ing Ngarso Sing Tulodo, Ing Madya Mangun Karso dan
Tut Wuri Handayani, dan menerapkannya dalam sekolah Taman Siswa. Inisiatif
tersebut menjadi awal bentuk reformasi pendidikan di Indonesia.
Jika Ki Hajar Dewantara
berfokus pada pendidikan yang berbasiskan pada guru, maka tokoh pendidikan
Indonesia lainnya, yaitu Moh. Syafei menggagas pendidikan keterampilan yang
sarat dengan praktek melalui pendirian pusat pendidikan INS Kayu Tanam di
Sumatera Barat, yang kemudian menjadi dasar pengembangan sekolah vokasi dan
kejuruan di Indonesia. Nampaknya hari pendidikan nasional menjadi otokritik
tersendiri bagi semua kalangan negeri ini. Kita setuju bahwa salah satu pihak
yang harus dievaluasi kinerjanya adalah pemerintah/pemerintah daerah sebagai
penyedia layanan pendidikan, penanggungjawab mutu pendidikan, pemilik otoritas
ats penyelenggaraan pendidikan, dan sebagai pemilik modal dari jasa layanan
pendidikan harus dapat memberikan jawaban atas kondisi pendidikn yg belum
mencerdaskan di daerah ini.
Penulis: Pemerhati Pendidikan, Dosen STKIP Bima dan
Ketua DPD KNPI Kabupaten Bima.
Post a Comment