Diskursus Hukum Administrasi atas Status Lalu Gita Ariadi: Tanggapan dan Meluruskan atas Pernyataan Dr. H. Muhammad Ali, M.Si


Oleh: Dr. Firzhal Arzhi Jiwantara, S.H., M.H., Pemerhati Hukum Administrasi Negara. Majelis Hukum Dan HAM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah NTB 2022-2027. Dosen Program Studi Magister Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Mataram


Opini Hukum:

Pernyataan Dr. H. Muhammad Ali, Dosen senior  Fsipol Universitas Muhammadiyah Mataram yang menyoroti posisi hukum Lalu Gita Ariadi sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), pasca terbitnya Surat Keputusan (SK) mutasi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), telah menimbulkan diskursus publik  dan membuka ruang refleksi penting dalam diskursus Hukum Administrasi Negara. Tidak hanya dari sisi norma, tetapi juga praktik ketatanegaraan yang berdampak langsung terhadap tertibnya birokrasi daerah. Dalam keterangan yang bersangkutan, status hukum  Lalu Gita Ariadi dinilai masih sah secara hukum administrasi. Namun dalam perspektif Hukum Administrasi Negara, pernyataan tersebut patut dikaji ulang secara proporsional agar tidak menimbulkan kekeliruan konseptual. Opini hukum ini bertujuan memberikan pelurusan dan klarifikasi atas pernyataan tersebut dengan pendekatan normatif berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan prinsip-prinsip hukum administrasi negara lainnya.

Dalam hukum administrasi, setiap keputusan pejabat tata usaha negara yang bersifat konkrit, individual, dan final adalah Keputusan Administratif (Pasal 1 angka 7 UU No. 30 Tahun 2014). SK mutasi Lalu Gita Ariadi ke Kemendagri termasuk dalam kategori ini. Maka, begitu SK itu ditetapkan secara sah, konsekuensi hukumnya langsung berlaku, tanpa harus menunggu bentuk fisik (hard copy) diterima oleh Gubernur. Oleh karena itu, berargumen bahwa Lalu Gita Ariadi masih sah sebagai Sekda karena salinan resmi SK belum diterima secara fisik adalah bentuk kesalahan logika hukum administratif. Substansi keputusan administrasi tidak bergantung pada bentuk dokumentasi, tetapi pada keabsahan penetapan.

Dalam Pasal 10 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa setiap tindakan dan/atau keputusan dalam administrasi pemerintahan harus dilakukan berdasarkan asas legalitas, kepastian hukum, dan akuntabilitas. Dengan status kepegawaiannya yang telah beralih ke instansi pusat, maka keberadaan Gita Ariadi dalam jabatan Sekda tanpa dasar hukum baru adalah tidak sah secara administrasi, dan dapat digolongkan sebagai bentuk maladministrasi. Jabatan Sekda NTB adalah posisi strategis yang memerlukan legitimasi administratif penuh. Apabila pejabat yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat substantif maupun prosedural, maka segala tindakan dan kebijakan yang dilakukannya dalam kapasitas sebagai Sekda berpotensi cacat hukum.

Bahwa Gubernur NTB, sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah (PPK), wajib menindaklanjuti SK mutasi tersebut. Ketika seorang ASN telah dialihkan ke instansi pusat, maka langkah administratif berikutnya adalah:

1. Menerbitkan keputusan pemberhentian dari jabatan Sekda;

2. Menunjuk Pelaksana Tugas (Plt) Sekda untuk menjamin kontinuitas administrasi;

3. Menginisiasi seleksi terbuka untuk jabatan Sekda definitif sesuai dengan prinsip meritokrasi.

Dengan menunda langkah-langkah tersebut diatas dengan alasan administratif justru menjadi bentuk kelalaian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan. UU No. 30/2014 menekankan pentingnya tindakan efektif dan proporsional, bukan pasif dan menunggu, terutama jika status hukum sudah terang benderang.

Beberapa pihak mungkin menyarankan agar diskresi digunakan dalam menyikapi kondisi ini. Namun perlu ditegaskan bahwa diskresi (Pasal 22–25 UU No. 30/2014) hanya dapat dilakukan dalam kekosongan norma, bukan dalam situasi di mana hukum positif sudah secara eksplisit mengatur. SK mutasi adalah tindakan konkret dari Kemendagri sebagai otoritas tertinggi ASN pusat. Maka, gubernur tidak dapat berlindung di balik dalih diskresi untuk mempertahankan Lalu Gita Ariadi dalam jabatan Sekda NTB tanpa landasan hukum baru.

Seiring semangat reformasi birokrasi yang menekankan merit system dan integritas tata kelola ASN, ketidakjelasan jabatan seperti ini justru merusak kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan daerah. ASN lain yang potensial mengisi jabatan tersebut menjadi kehilangan hak dan kesempatan karena kebijakan yang abstain dari kepastian hukum.


Kesimpulan dan Klarifikasi atas Pernyataan Dr. H. Muhammad Ali sebagai berikut :

Maka Pernyataan Dr. H. Muhammad Ali yang menyatakan bahwa posisi Lalu Gita Ariadi sebagai Sekda NTB secara hukum administrasi masih sah perlu diluruskan dari perspektif hukum administrasi negara yang tepat. Meskipun SK mutasi dari Kemendagri belum diterima secara fisik oleh Gubernur, secara hukum substansi SK tersebut telah berlaku dan mengubah status administratif pejabat yang bersangkutan. Dengan demikian, keberadaan Gita Ariadi dalam jabatan Sekda setelah diterbitkannya SK mutasi tidak memiliki dasar hukum yang sah dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum serta maladministrasi. Pengabaian terhadap prinsip legalitas dan kepastian hukum ini dapat melemahkan tata kelola birokrasi dan melanggar asas meritokrasi yang menjadi fondasi reformasi birokrasi.

Oleh karena itu, Gubernur NTB selaku pejabat pembina kepegawaian wajib segera menindaklanjuti SK mutasi tersebut dengan keputusan pemberhentian resmi dan penunjukan Pelaksana Tugas (Plt) atau Sekda definitif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Langkah ini bukan saja memperteguh kepastian hukum, tetapi juga menjaga efektivitas dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan kata lain, aspek administratif dan hukum tidak bisa diabaikan hanya karena kendala teknis seperti belum diterimanya dokumen hard copy SK, sebab asas legalitas dan kepastian hukum adalah pondasi utama tata pemerintahan yang baik. Meluruskan hal ini penting agar birokrasi berjalan sesuai koridor hukum dan prinsip-prinsip good governance tetap terjaga.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.