NTB Krisis Kerusakan Lingkungan, Bagaimana Nasib Lingkungan dan Masyarakat NTB?


Oleh : Aprilia Ariesta, Mahasiswa Jurusan Konservasi SDA UTS.

Sejumlah kawasan konservasi di Lombok NTB telah dilaporkan ke Kejaksaan Agung RI atas kasus kerusakan lingkungan yang mencakup pencemaran, kerusakan ekosistem, dan aktivitas eksploitasi ilegal, seperti kerusakan terumbu karang di Gili Matra, tambang emas ilegal di Sekotong dan aktivitas galian C ilegal di Lombok Timur. Menurut Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), hal ini menjadi peringatan keras bagi masyarakat NTB bahwa pengelolaan lingkungan bukan hanya untuk kepentingan ekonomi tetapi juga harus memikirkan dampaknya bagi kehidupan dan lingkungan NTB di masa depan. 

Kerusakan terumbu karang di kawasan konservasi Gili Matra merupakan bukti nyata dari minimnya pengawasan dan tata kelola. Menurut Wahana Lingkungan Hidup NTB, kawasan terumbu karang di Gili Matra mengalami degradasi akibat adanya gratifikasi sehingga proses pengawasan dan pengambilan keputusan menjadi tidak objektif dan tidak sesuai dengan aturan dalam tata kelola lingkungan di kawasan ini. Mirisnya, kawasan yang wajib dilindungi justru dibiarkan rusak akibat pengeboran air bawah tanah yang merusak terumbu karang. Padahal, Gili Matra adalah salah satu tempat wisata dan ekologi yang berharga di NTB. Jika kawasan konservasi saja tidak dikelola dengan baik, kita perlu mengkhawatirkan nasib wilayah lain yang tidak memiliki perlindungan hukum.

Selanjutnya, WALHI juga melaporkan pertambangan emas ilegal di Sekotong yang ternyata sudah berlangsung selama bertahun-tahun, namun hingga kini tidak pernah benar-benar ditangani secara tuntas. Tambang emas ilegal yang mengandung merkuri dan sianida ini berpotensi mencemari sumber air tanah dan pesisir. Menurut data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) tercatat kurang lebih 26 titik tambang ilegal di wilayah Sekotong yang berada di atas 98,16 hektar tanah. Hal ini menunjukkan besarnya potensi kerugian negara, apalagi tambang ini tidak membayar pajak, royalti, iuran tetap, dan lainnya.

Kasus galian C ilegal di Lombok Timur menambah daftar panjang eksploitasi lingkungan yang terjadi secara terbuka. Material tambang diangkut keluar tanpa izin yang sah, sungai-sungai rusak, dan masyarakat sekitar menghadapi ancaman longsor dan banjir. Berdasarkan data yang dihimpun Walhi NTB, 30 persen dari 156 ribu hektar luas lahan di Lombok Timur di antaranya dalam kondisi kritis parah. Pemerintah daerah kerap kali mengaku telah melakukan razia, namun praktik ilegal terus berjalan seakan tak tersentuh hukum.

NTB memang mempunyai potensi yang luar biasa, tetapi jika terus dikelola untuk kepentingan ekonomi saja maka kehancuran tinggal menunggu waktu. Oleh karena itu,  pembangunan berkelanjutan dan konservasi partisipatif menjadi langkah yang harus segera diimplementasikan di NTB, misalnya dengan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan, memperkuat penegakan hukum lingkungan, dan merancang pembangunan yang ramah lingkungan agar kerusakan lingkungan di NTB tidak terjadi lagi.

Laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia bukan sekedar pengingat, tapi seruan untuk bertindak bahwa sudah saatnya NTB bangkit dan mengubah cara pandang terhadap lingkungan. Jika kita terus menganggap masalah lingkungan ini sepele, maka kerusakan hari ini akan terus berlanjut dan menjadi masalah yang akan selalu kita tanggung di masa depan. Mari kita jaga lingkungan NTB ini secara berkelanjutan karena jika bukan kita, siapa lagi?

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.