NTB Teken MoU Implementasi Pidana Kerja Sosial Jelang Berlakunya KUHP Baru 2026
Gubernur Lalu Muhamad Iqbal menyebut KUHP baru sebagai tonggak sejarah karena Indonesia kini menggunakan kitab hukum pidana yang disusun sendiri, bukan warisan kolonial. Ia menekankan pidana kerja sosial sebagai solusi mengurangi overcrowding lapas, sebagaimana berhasil diterapkan di sejumlah negara Eropa.
Pidana kerja sosial nantinya dapat dilakukan tidak hanya di instansi pemerintah, tetapi juga melalui kerja sama dengan NGO, lembaga sosial, LKSA/LKKS, dan organisasi yang memiliki pekerja sosial tersertifikasi. Menurut Miq Iqbal, model hukuman ini lebih manusiawi namun tetap memberikan efek jera karena dilakukan menggunakan seragam khusus dan diketahui publik.
Kepala Kejati NTB, Wahyudi, menyatakan MoU ini memperkuat pendekatan Restorative Justice yang telah lama diterapkan di NTB, dengan lebih dari 60 perkara selesai melalui sanksi sosial sesuai Perja No. 15/2020. Ia juga melaporkan perlunya penguatan struktur kejaksaan di Lombok Barat, Lombok Utara, dan Kabupaten Bima.
Sementara itu, JAMPidum Prof. Dr. Asep Nana Mulyana menegaskan pidana kerja sosial harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan keahlian pelaku. Ia mencontohkan pelaku dengan kemampuan khusus dapat ditempatkan pada aktivitas yang relevan, seperti pelatihan jurnalistik. Prof. Asep juga mengingatkan batasan hukum: hanya untuk tindak pidana berancam di bawah lima tahun, tidak berlaku untuk korupsi, tidak untuk perkara yang merugikan keuangan negara, dan kasus narkotika tertentu.
MoU ini menjadi dasar bagi NTB untuk menyiapkan penerapan pidana kerja sosial yang lebih humanis, efektif, dan berkeadilan, sekaligus mendukung transformasi peradilan pidana nasional menuju era KUHP baru.(NM)





Post a Comment